#GreenerTime Yang Muda Yang Berkarya

Dipublikasikan oleh admin pada

Artikel dibuat dari kegiatan seminar nasional online (daring) melalui platform Zoom yang diselenggarakan oleh Green Generation dengan tema #greenertime. Ketiga narasumber yakni Selly Febrilia Mayora, Raafi Jaya dan Christian Natalie yang mewakili Hutan Itu Indonesia. 

Dalam penjelasannya di seminar tersebut, Kak Tian memaparkan kampanye HII yang berfokus pada pelestarian hutan bagi anak muda perkotaan. Hal itu karena anak muda perkotaan yang tinggal jauh dari hutan semestinya diperkenalkan tentang hutan dan segala kekayaannya, yang bukan saja hanya pohon, melainkan juga ada sumber pangan, papan, sandang, inspirasi, dan budaya. 

Christian Natalie atau yang biasa disapa akrab Kaka Tian | https://www.instagram.com/kakaktian/

Pada kesempatan lain, seringkali kebun sawit dianggap hutan, padahal sawit termasuk sebagai perkebunan yang sifatnya homogen, tentu beda dengan hutan yang sifatnya heterogen. Manfaat hutan sangat beragam, seperti menyerap karbon dioksida, mencegah banjir, menjaga siklus air, serta rumah bagi banyak makhluk hidup. Ia juga berpendapat bahwa menjaga hutan sama saja menyelamatkan anak cucu di masa depan.

Menurut kak Tian, kampanye bisa dilakukan di mana saja, seperti di media sosial, dengan mengajak adopsi pohon, membeli produk hasil hutan non-kayu, mengonsumsi produk lokal, organik (ramah alam), berkelanjutan, lalu jalan-jalan ke hutan untuk menikmati keindahannya secara langsung (ecotourism), serta bisa berdonasi ke organisasi-organisasi seperti Yayasan ASRI, WWF, dan lain-lain. 

Selly F. Mayora Sebagai seorang mahasiswa semester 6 di Politeknik Negeri Batam, Selly adalah salah satu anak muda yang berprestasi dan menginspirasi. Selly sangat gemar untuk mengeksplor banyak hal, di antaranya menggeluti bidang modelling, acting, public speaking, olahraga, kesenian, karya ilmiah, dan sosial kemasyarakatan. Dalam bidang sosial kemasyarakatan sendiri, Selly bersama rekan-rekannya aktif membantu warga Suku Laut di Kepulauan Riau, yang tinggal di area yang berbatasan dengan Malaysia dan Singapura. Hal ini dikarenakan masyarakat Suku Laut sering kali bermasalah dengan identitas dan tempat menetap (dahulu mereka tinggal dan beraktivitas di sampan). Ia juga turut membantu menggaungkan pemenuhan hak-hak anak di area tersebut.

Selly F. Mayora | https://www.instagram.com/sellyfmyr/

 “Jika kita sudah menjadi samudera, segala jenis air akan bermuara kepada kita”

Selly sendiri menyadari bahwa lingkungan membentuk karakter setiap orang. Namun, menurutnya, seseorang hendaknya tidak hanya menghabiskan waktunya untuk mencari teman/relasi saja, tetapi lebih fokus meningkatkan kemampuan diri dan berusaha lebih baik. Karena saat ini, pesaing kita tidak hanya orang lokal, tetapi juga dari negara lain. Relasi memang penting untuk memotivasi kita, tetapi perlu diingat bahwa itu hanya eksternal, bukan hal utama. Yang utama adalah kemampuan diri yang meningkat. Dengan sendirinya seseorang akan menjadi pusat perhatian jika memiliki kelebihan. Jangan bersedih apabila lingkungan tidak mendukung, tetap sebarkan virus positif dan menyemangati. Salah satu caranya adalah dengan berorganisasi yang positif. Selly juga percaya bahwa lingkungannya, terutama restu orang tua menjadikannya dapat menggali potensi dan berkarya.

Raafi J. Sutrisna  adalah seorang penemu muda asal Pati. Saat ini ia juga merupakan seorang mahasiswa teknik kimia Universitas Diponegoro, Semarang. Menurut Raafi, jika di suatu daerah didirikan sebuah industri, konflik sosial akan timbul. Seperti di daerah asalnya, yaitu Pati, yang dulu pernah ada rencana pemerintah untuk mendirikan pabrik semen di pegunungan Kendeng dan mendapat penolakan dari masyarakat

Raafi J. Sutrisna | https://www.instagram.com/raafijayasutrisna/

Ia juga menjelaskan bahwa industri kimia menghasilkan limbah yang harus diolah (treatment) terlebih dahulu sebelum dibuang ke sungai sehingga aman. Namun, kenyataannya masih ada saja perusahaan/UMKM yang langsung membuang limbah ke sungai/laut, misalnya usaha pembuatan tahu dan tempe yang membuang limbah pencucian kedelai langsung tanpa adanya treatment mengakibatkan kematian biota laut. 

Raafi juga menjelaskan bahwa Indonesia memiliki potensi limbah kulit singkong yang dihasilkan dari industri tepung tapioka cukup besar, yaitu satu pabrik menghasilkan limbah mencapai 20 ton per bulannya. Umumnya, limbah tersebut hanya dijadikan pakan ternak dan tidak memiliki nilai ekonomis. Terlebih lagi, di Kab. Pati, industri tepung tapioka cukup banyak sehingga ia merasa rugi jika limbahnya tidak dimanfaatkan dengan baik. Penelitian untuk mengubah kulit singkong agar bernilai ekonomis lebih tinggi pun dilakukannya. Ia berkesimpulan untuk mengolah kulit singkong dengan batang pisang menjadi sebuah plastik komposit yang dapat digunakan dalam berbagai macam industri otomotif dan pesawat terbang. 


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *