Masa Depan Mangrove Indonesia, Quo Vadis?

Dipublikasikan oleh admin pada

Oleh: Windi Syahrian (Pemenang 1 Lomba Essay Aku dan Mangrove)

Someone is sitting  in the shade today because someone planted a tree a long time ago” (Warren Buffett).

Meminjam perkataan dari Om Buffett di atas, agaknya benar dan seringkali kita lupakan bahwa kerindangan yang kita nikmati adalah berkat seseorang yang menanam pohon kurun waktu silam. Pernah, ketika kecil saya piknik di bawah pohon jengkol halaman rumah yang rindang yang ditanami oleh nenek dahulu. Alangkah sejuk dan syahdunya. Suara semilir angin dan kicau burung, membuat nasi semakin nikmat untuk disantap.

Namun, sadar atau tidak, semakin ke sini, sudah hampir sulit kita jumpai suasana yang sejuk dan syahdu di bawah pohon rindang. Bahkan, muda-mudi kehilangan tempat untuk mengikat janji dengan menggoreskan namanya dan pasangannya di batang pohon (tidak untuk ditiru).

Areal hutan ditebangi dan dijadikan lahan perumahan dan perkebunan. Pohon-pohon ditebangi untuk dibuatkan furnitur dengan nilai artistik yang tinggi. Sebagian lagi, untuk dibuatkan plang larangan menebang pohon di areal tersebut. Sungguh ironi yang menggelitik.  Kehadiran pohon pun akan terasa manfaatnya ketika ia sudah tiada, seperti halnya cinta. 

Dalam lima tahun belakangan dunia mengalami kenaikan iklim yang sangat drastis. Disinyalir pada tahun 2016 merupakan tahun terpanas dalam satu dekade belakangan. Perubahan suhu yang ekstrim ini konon dipicu oleh adanya pemanasan global yang diakibatkan oleh pelepasan emisi karbon ke atmosfer secara berlebihan dan menyebabkan menumpuknya partikel rumah kaca yang menyebabkan panas matahari tertahan di atmosfer bumi. 

Pelepasan emisi karbon yang berlebihan dihasilkan dari penggunaan kendaraan bermotor, pembakaran bahan bakar fosil, aktivitas industri, pembakaran sampah plastik dan kebakaran hutan yang saat ini terjadi di Indonesia.

Menurut laporan World Resources Institude (WRI) pada tahun 2011, tingkat emisi karbondioksida di dunia mencapai 46 miliar ton. Negara dengan tingkat penghasil emisi terbesar adalah Tiongkok dengan total emisi karbondioksida sebesar 10,26 miliar ton, sedangkan Amerika Serikat menghasilkan emisi sebesar 6,135 miliar ton dan Uni Eropa yang mencapai 4,263 miliar ton.

Negara-negara penghasil emisi di dunia, sumber : Katadata.co.id

Indonesia sendiri menduduki peringkat keenam sebagai penghasil emisi karbon terbesar di dunia dengan total emisi karbon yang dihasilkan sebesar 2,053 miliar ton, dibawah India yang menghasilkan emisi karbon 2,358 miliar ton dan Rusia sebesar 2,217 miliar ton emisi karbon [1]. Kendati merupakan masalah yang serius, Indonesia merupakan negara dengan tingkat ketidakpercayaan terhadap pemanasan global tertinggi akibat ulah manusia dari 23 negara dengan persentase 18 persen. Disusul oleh Arab Saudi (16 persen) dan Amerika Serikat (13 persen) [2].

Di beberapa kesempatan, saya pernah berkelakar dengan teman-teman yang berasal dari daerah pulau dan pinggir laut. Saya menegaskan bahwa kami yang berada di tengah daratan, berutang banyak dengan mereka yang berada di daerah pesisir. Kelakar saya itu bukannya tanpa alasan. Hasil penelitian dari CIFOR, hutan mangrove Indonesia disebut menyimpan lima kali karbon lebih banyak per hektare dibandingkan dengan hutan tropis. Belum lagi dengan produksi oksigen oleh lamun dan fitoplankton. Kalaulah oksigen di udara bebas bisa diklaim, seperti Malaysia mengklaim rendang, maka masyarakat pesisir Indonesia berhak untuk mengklaim bahwa sebagian besar oksigen yang di Indonesia ini dihasilkan oleh komoditi mereka. Kendati demikian, kita tidaklah bisa berlenggang dan menganggap santai kasus emisi karbon yang terjadi. 

Berdasarkan data FAO (Organisasi Pangan Dunia, PBB) dalam tiga dekade terakhir, Indonesia sudah kehilangan 40% mangrove, yang berarti, Indonesia memiliki kecepatan kerusakan mangrove terbesar di dunia [3].

Senada dengan itu, menurut data yang dihimpun dari Biro Humas Kementerian LHK pada tahun 2015, Indonesia memiliki ekosistem mangrove terluas di dunia sebesar 3.489.140,68 Ha, dengan panjang garis pantai sebesar 95,181 km2 serta memiliki keanekaragaman hayati yang paling tinggi. Kalau diestimasikan, luas ekosistem mangrove Indonesia setara 23% ekosistem mangrove dunia yaitu dari total luas 16.530.000 Ha. Dari luas mangrove di Indonesia, diketahui seluas 1.671.140,75 Ha dalam kondisi baik, sedangkan areal sisanya seluas 1.817.999,93 Ha sisanya dalam kondisi rusak [4].

Sungguh merupakan Pe-Er yang sangat berat bagi kita semua untuk mengembalikan ke kondisi semula. Namun, bicara tentang perubahan iklim dan pengrusakan lahan mangrove, tidak selalu harus ditanggapi dengan sikap pesimistis. Terdapat berbagai macam upaya dalam mengatasi perubahan iklim. 

Secara umum, upaya tersebut tergolong menjadi dua kelompok, yaitu mitigasi dan adaptasi. Kedua pendekatan ini, yaitu mitigasi dan adaptasi diperlukan untuk menghadapi perubahan iklim baik di tingkat global maupun lokal.

John M. Echols dan Hassan Shadily di dalam kamusnya menyatakan bahwa mitigasi memiliki arti yaitu pengurangan. Sedangkan adaptasi berarti penyesuaian diri. Melalui mitigasi, usaha yang dapat dilakukan adalah mengurangi sebab pemanasan global dari sumbernya. Gunanya agar laju pemanasan itu melambat, seiring dengan itu, pada saat bersamaan dapat dilakukan persiapan diri untuk beradaptasi dengan perubahan yang ada, sehingga diharapkan akan ditemukan suatu titik temu yang menjamin kelangsungan hidup manusia [5].

Mitigasi dapat dilakukan di sumber-sumber utama gas rumah kaca seperti di sektor energi, kehutanan dan pertanian, dan berbagai kebijakan dan instrumen tersedia bagi pemerintah untuk menciptakan insentif untuk berbagai tindakan mitigasi, menggunakan energi terbarukan yang berkelanjutan, dan konsumsi energi yang efisien.

Jika kita mundur sedikit ke belakang, secara global, kegiatan mitigasi perubahan iklim ini sudah dilakukan pada tahun 1992 silam. Saat itu, sekitar 200 negara berkomitmen menanggulangi perubahan iklim dengan membentuk UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). 

Para negara anggota UNFCCC bertemu secara rutin dalam Conference of Parties (COP) atau pertemuan anggota untuk membicarakan kemajuan atau merumuskan langkah baru yang perlu diambil. 

Pada pertemuan COP ketiga tahun 1997 di Kyoto, jepang, menghasilkan sebuah rumusan yang dikenal dengan nama Protokol Kyoto, dimana mendorong negara maju mengurangi emisi gas rumah kaca, dan berlanjut hingga pada pertemuan ke-21 di Paris, Perancis pada tahun 2015 yang menghasilkan sebuah terobosan perjanjian kerjasama internasional untuk pengurangan emisi global, atau dikenal dengan Kesepakatan Paris.

Pada Kesepakatan Paris, untuk pertama kalinya 178 negara anggota UNFCCC bersepakat untuk mencegah suhu global naik hingga 1,50C. Yang paling penting adalah mendorong negara-negara kaya –yang notabenenya merupakan penyumbang emisi terbesar– untuk membantu negara-negara miskin dengan menyediakan sistem pendanaan iklim agar dapat beradaptasi dengan perubahan iklim dan beralih ke energi terbarukan. 

Namun, cara pemberian pendanaan iklim melalui kredit karbon tentunya bukanlah solusi yang tepat. Mengingat kebanyakan negara yang paling terdampak perubahan iklim adalah negara berkembang. Tentunya akan membebani mereka dengan pemberian utang dengan dalih penyelamatan lingkungan akibat emisi yang dihasilkan oleh negara industri. Kegiatan cuci tangan dan lempar tanggung jawab ini seakan mengorbankan negara berkembang hingga terpuruk ke titik nadir perekonomian dan lingkungannya.

Benar saja, Amerika Serikat yang sebelumnya turut serta bermain cantik dengan memberikan kompensasi atas sumbangan emisi karbonnya, pada COP ke-23 di Jerman tahun 2017 lalu memutuskan mundur dari Kesepakatan Paris. 

Kendati demikian, Indonesia menyadari pentingnya posisi sebagai negara kepulauan tropis dengan hutan yang luas, berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca minimal sebesar 26% pada 2020. 

Melalui beberapa lembaganya, Indonesia berupaya untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Seperti, Kementerian Lingkungan Hidup memiliki Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim yang khusus menangani isu tersebut dan menjalankan komitmen Indonesia di UNFCCC. 

Juga ada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) yang mengkaji dan menjalankan program untuk mendorong pembangunan Indonesia dalam adaptasi perubahan iklim serta mengupayakan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). 

Tak lupa, Kementerian Kelautan dan Perikanan yang tengah mengembangkan program karbon biru. Serta lembaga negara lain seperti BMKG dan BNPB yang secara khusus membuat kajian mengenai dampak dan penanggulangan bencana akibat perubahan iklim di Indonesia. 

Tanpa bermaksud untuk mengecilkan peran pemerintah, masih terdapat beberapa masalah yang perlu menjadi perhatian. Kebijakan yang tarik ulur dan terkesan tidak serius dalam pengawasan, tidaklah senada dengan target pengurangan dampak perubahan iklim. Sebagai contoh, menurut data dari Greenpeace, perusahaan sawit telah menghancurkan lahan hutan dan gambut seluas 130.000 ha  atau setara dua kali negara Singapura pada 2015-2018, kendati pemerintah telah mengeluarkan moratorium sawit. 

Kasus di Riau lebih menarik lagi. Sebagai contoh, di Bengkalis, sebuah kabupaten yang bersubstrat gambut, namun sudah kehilangan fungsi lahan dan terancam hilang akibat tergerus arus pasang. Di daratan ditanami sawit dengan masif, bahkan hingga bahagian pesisir. Sedang mangrovenya sendiri sudah habis dibabat. Sehingga, tingkat abrasi di Bengkalis sudah masuk ke dalam tahap sangat mengkhawatirkan. Bahkan, kajian dari beberapa peneliti, dalam kurun waktu beberapa tahun lagi, Bengkalis akan tenggelam dan tinggal nama.

Abrasi pada pesisir pantai Bengkalis, Riau, akibat dari kurangnya penangkal abrasi alami seperti mangrove
Sumber foto : Dokumentasi pribadi/ Windi Syahrian

Upaya penanggulangan perubahan iklim ini tidak hanya menjadi tugas dari pemerintah saja. Ketika pemerintah gagal dalam menerapkan kebijakan yang berpihak kepada masa depan mangrove di Indonesia, sudah saatnya bagi pegiat mangrove tingkat tapak untuk melakukan revolusi. Ya, revolusi besar-besaran dengan cara penyelamatan lingkungan pesisir melalui revitalisasi lahan mangrove. 

Diperlukan langkah nyata untuk mengatasi perubahan iklim melalui aksi penanaman mangrove. Konon menurut penelitian, 1 hektar mangrove dapat menyerap 39,75 juta ton CO2 per tahun. Emisi yang  setara 59 sepeda motor per tahun atau 1,6  juta batang rokok setiap tahunnya [6].

Kita coba hitung-hitungan sederhana. Jika kita ilustrasikan menurut data statistik, persentase perokok di indonesia mencapai 47,50% dari jumlah penduduk. Sedangkan berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015, jumlah penduduk Indonesia pada 2020 sebanyak 269,6 juta jiwa. Berarti, jumlah perokok di Indonesia adalah 47,50% dari 269,6 juta, yaitu sekitar 128,06 juta jiwa.

Jika rata-rata satu orang menghabiskan dua bungkus rokok isi 12 batang per hari, maka dalam setahun menghabiskan 8.760 batang per orang. Dan dalam setahun seluruh penduduk Indonesia menghabiskan 1.121.805.600.000 batang rokok. Kesimpulannya, untuk menyerap emisi dari asap rokok seluruh penduduk Indonesia, kita harus menyediakan lahan seluas 701.129 Ha. Belum lagi untuk menyerap emisi dan pencemaran yang lain.

Jika kita berharap kepada pemerintah saja, maka sampai ladang gandum dihujani koko kranch, juga tidak bakal selesai. Ini bukan hanya menjadi tugas pemerintah saja, melainkan tugas kita bersama untuk sama-sama mengajak masyarakat agar lebih sadar dan peduli terhadap lingkungan, terkhusus mangrove. 

Kita harus mulai menumbuhkan kesadaran masyarakat. Karena alasan yang paling dasar kenapa seseorang termotivasi untuk menyelamatkan lingkungan adalah karena keinginan mereka sendiri melalui pengembangan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan dalam individu, lembaga dan masyarakat. Sehingga memungkinkan mereka untuk  melakukan kegiatan konservasi yang efektif.

Dalam Teori Perubahan Rare, untuk memengaruhi perilaku seseorang, ada beberapa langkah-langkah yang bisa kita lakukan, antara lain:

Langkah 1: terdapat empat elemen dari satu langkah, yaitu dengan menggalakkan:

  • Pengetahuan – ancaman lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan dan perilaku alternatif yang mungkin tersedia
  • Sikap – menumbuhkan sikap positif terhadap penerapan perilaku baru ini
  • Komunikasi Interpersonal – membuat percakapan yang menggeser norma sosial untuk mendorong dan mendukung mereka
  • Penghapusan penghalang – memberikan bantuan untuk menghilangkan penghalang yang mungkin menghalangi

Langkah 2: Perubahan perilaku, dimana orang mengubah perilaku mereka dengan cara yang pro-konservasi positif;

Langkah 3: Pengurangan ancaman, yakni mengurangi dampak perilaku negatif terhadap keanekaragaman hayati;

Langkah 4: Hasil konservasi, yaitu hasil positif untuk konservasi keanekaragaman hayati.

Maka, untuk mencapai perubahan tersebut, tentunya diperlukan trik-trik dalam penyampaian pesan. Terdapat empat cara penyampaian pesan yang secara umum dapat diterapkan, antara lain:

  • Pesan ‘Kehilangan’ – berfokus pada kepunahan spesies, hilangnya habitat dan ancaman
  • Pesan ‘Cinta’ – berdasarkan pada kekaguman, keajaiban, dan perayaan kekuatan dan keindahan alam
  • Pesan ‘Kebutuhan’ – berdasarkan pada ekonomi dan nilai finansial dari sistem alami untuk membersihkan udara, air, dan menyediakan makanan kita
  • Pesan ‘Aksi’ – meminta orang untuk melakukan hal-hal tertentu dari menyumbangkan uang hingga menanam pohon.

Perlu kita garis bawahi, edukasi ataupun sosialisasi penyadartahuan ini tidak hanya diperuntukkan bagi kalangan kawula, melainkan bagi pengambil kebijakan juga. Karena, tidak ada yang lebih menakutkan ketimbang orang yang ‘belum cerdas’ yang memiliki kuasa. Semakin mendapat pengetahan, otomatis akan berdampak kepada kebijakan-kebijakan yang pro lingkungan. Semoga. Meminjam kata orang bijak, “Masa depan adalah milik mereka yang mempersiapkan hari ini”. Meski masa depan adalah misteri, namun kita bisa merancang masa depan seperti apa yang akan kita hadapi. Baik atau buruk, tergantung kita. 

Kita bisa saja berpikir bahwa toh mungkin kita tidak akan mengalami dampak terburuk dari perubahan iklim nanti, namun tegakah kita membuat anak cucu kita menderita akibat ketidak pedulian kita terhadap mangrove dan perubahan iklim?.

Alam bukanlah warisan nenek moyang, melainkan titipan anak cucu. Jika kita tidak peduli dengan orang lain, setidaknya pikirkan masa depan anak cucu kita. [*]

REFERENSI:

  1. Mangrovemagz : Gagasan Hutan Mangrove, https://mangrovemagz.com/2017/05/17/gagasan-hutan-mangrove-dalam-menangani-emisi-karbon/#:~:text=Hutan%20mangrove%20mampu%20menyerap%20dan,sampai%20112%20gigaton%20C%2Ftahun.&text=Menurut%20penelitian%20dari%20Center%20for,tinggal%202%2C5%20juta%20hektar.
  2. Liputan 6 : Survei ungkap Indonesia paling tak percaya perubahan iklim, https://www.liputan6.com/health/read/3964313/survei-ungkap-indonesia-paling-tak-percaya-perubahan-iklim-akibat-ulah-manusia
  3. Majalah Bakau Penyerap karbon, https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/07/160730_majalah_bakau_penyerap_karbon
  4. PPID-Men LHK: Siaran pers, http://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/561#:~:text=Jakarta%2C%20Biro%20Humas%20Kementerian%20LHK,68%20Ha%20(tahun%202015)
  5. Mitigasi adaptasi perubahan iklim, http://ghinaghufrona.blogspot.com/2012/01/mitigasi-adaptasi-perubahan-iklim.html#:~:text=Mitigasi%20dalam%20kamus%20John%20M,atau%20adaptasi%20artinya%20penyesuaian%20diri.&text=Melalui%20mitigasi%2C%20usaha%20yang%20dapat,sebab%20pemanasan%20global%20dari%20sumbernya.
  6. Mangrove memberi manfaat atau sebaliknya, http://news.unair.ac.id/2019/09/10/mangrove-memberi-manfaat-atau-sebaliknya/

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *