Cerita dari Hutan : Kehidupan Harmonis Masyarakat dan Hutan di Desa Simancuang

Dipublikasikan oleh admin pada

Oleh : Desheila Putri, Sukarelawan Hutan itu Indonesia

Perjalanan darat selama 7 jam dari Padang seolah terbayar sore itu saat pertama kalinya menginjakan kaki di desa Jorong Simancuang, Solok Selatan, Sumatera Barat. Kehangatan dan ramah warga desa adalah kesan pertama saat itu. 

Desa Jorong Simancuang, adalah desa yang letaknya di Solok Selatan, Sumatera Barat desa ini sudah berdiri dari tahun 1974, sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai petani padi. Ada cara unik bagaimana masyarakat desa Simancuang mengelola sumber daya alamnya, salah satunya tidak banyak memakai pupuk kimia di ladangnya, cara menanamnya juga masih dilakukan dengan cara tradisional. Uniknya juga, sistem tata letak rumah-rumah di desa Simancuang dibuat di antara sawah-sawah, jarak antar rumah umumnya berjauhan.

Lamanya perjalanan dari Jakarta – Padang tidak mengurungkan niat kami untuk mengeksplor sore hari itu, sesampainya dan disambut warga desa, saya dan tim ekspedisi cerita dari hutan menyempatkan mengitari persawahan dengan nuansa bukit dan hutan yang mengelilinginya, tampak jelas Gunung Kerinci di kejauhan menjadi panorama yang mahal sekali, saking kerennya kami tidak bisa jauh-jauh untuk foto dan nge-vlog layaknya  anak millennials jaman sekarang.

Di hari pertama kedatangan, saya dan tim ekspedisi bermalam di rumah warga untuk beberapa hari kedepan, saya merasakan sambutan yang amat terbuka dan kerendahan hati warga setempat, saya sendiri tinggal di rumah Pak Epi dan Bu Yenti, keduanya sangat senang kedatangan tamu dari Jakarta, padahal selama disana kami tidur di kamar mereka.

Di hari berikutnya saya dan tim berkunjung terlebih dahulu ke tempat penggilingan gabah untuk beras organik, dijelaskan bagaimana prosesnya penggilingan gabah padi hingga menjadi beras organik, oh iya desa simancuang menjadi kawasan organik karena keberhasilan masyarakat setempat mengelola lingkungan dan sumber daya alam dengan baik. Di tempat penggilingan juga kami sekaligus bersilaturahmi dengan warga desa lainnya, duduk di atas pelataran kayu, ditemani cemilan khas mirip getuk dan kopi.

Tempat penggilingan beras organik Desa Simancuang

Dari penggilingan gabah organik, kami melanjutkan perjalanan yang tak jauh menuju air terjun tersembunyi di atas bukit, tantangannya adalah akses jalan menuju lokasi yang belum bagus dan terbilang sulit, kami didampingi warga lokal yang turut membantu selama perjalanan. Rehat beberapa waktu di air terjun, jernih dan dinginnya air membuat saya jadi betah dan ingin berlama-lama menikmati suasana tersebut. Setelahnya kami turun kembali ke bawah bukit untuk makan siang di rumah warga, makanannya yang khas dan lezat membuat kami semakin bersemangat, dahaga dan lapar seolah dibuat manja saat itu.

Perjalanan di hari tersebut belum sepenuhnya berakhir, kami melanjutkan lagi untuk masuk ke hutan nagari Simancuang, menjadi pengalaman pertama saya masuk ke hutan yang benar-benar liar. Selama perjalanan menyusuri hutan, saya ditemani hewan lucu bernamakan pacet, hewan yang, hewan yang masih satu kelompok dengan lintah ini punya hobi menghisap darah, bentuknya yang kecil dan samar dengan warna tanah dan dedaunan membuat kita luput untuk memperhatikannya, tak jarang masuk ke celah sepatu dan nempel di kaki kita, tapi bukan masuk ke hutan namanya kalau kita tidak bertemu si pacet ini, salah satu hewan yang khas dan jadi bagian dari ekosistem di hutan yang tidak bisa dipisahkan.

Sesampainya kami di pos pengamatan satwa, kami berencana bermalam di area pos tersebut. Rumah kayu yang berada di pos pengamatan dibangun bertujuan untuk mengawasi satwa-satwa di hutan nagari Simancuang. Membuat perapian adalah hal yang lazim saat bermalam di hutan, tujuannya agar suhu malam hari yang dinginnya bukan main menjadi lebih ramah bagi kami, tak terlewat kami menyempatkan juga untuk membuat menu ayam bakar, terbayang hangatnya suasana dan kebersamaan saya dan tim malam itu, seru!

Agenda kami di perjalanan hari ketiga di desa Simancuang yakni berkunjung ke sekolah dasar, sebagai bentuk apresiasi dan semangat anak-anak desa Simancuang. Salah satu agendanya yakni penceritaan (storytelling), ngobrol-ngobrol dan saling bersenda gurau dengan para murid, tak hanya itu kami juga bernyanyi bersama karena di tim ekspedisi cerita dari hutan Simancuang ini, ada Shae, penyanyi yang terkenal lewat lagu “Sayangnya” itu banyak digemari oleh para murid. Rindu sekali rasanya kepada mereka saat menulis cerita ini.

Di hari ke-4 kami di desa Simancuang, kami dibentuk beberapa tim, ada yang mengunjungi ke lokasi sumber air bersih, lokasi adopsi pohon dan juga ke perkebunan milik warga setempat. Saya pribadi berkesempatan untuk mengunjungi sumber mata air.  Tanaman kayu manis, pohon coklat dan pohon-pohon merangin yang menjulang tinggi dengan batang yang besar menjadi pemandangan selama perjalanan saya menuju mata air. Sampai di sumber mata air, kami lepas sepatu dan turun untuk menyeka kaki, seperti masa kanak-kanak kami juga sedikit bermain air. Sumber mata air ini bisa langsung diminum

Sorenya kami kembali dari masing-masing lokasi yang dijumpai, istirahat dan dilanjutkan malamnya untuk sayonara kecil karena besoknya kami kembali ke Jakarta. Malam itu kami ditemani cemilan ubi, singkong, kacang, jagung dan juga kopi sambil menikmati pertunjukan musik Rabab khas desa Simancuang. Sahut-sahutan penyanyi yang berdendang seperti lagu Melayu dengan bahasa Padang membuat kesan unik bagi kami. Saya masih ingat betul tawa riang kami pecah saat mendengarkan nyanyian yang di mana mereka hanya menyampaikan kata-kara tentang hal-hal yang kami lakukan malam itu.

Waktu nyatanya cepat sekali berlalu, padahal masih betah dan ingin berlama-lama di sini, sangat senang saya mendapat keluarga baru di Desa Simancuang. Yang tak mungkin saya lupa adalah sambal belut buat Pak Bu, yang bikin saya nagih dan rasanya masih terngiang di kepala saya, saking enaknya! Beberapa hari tanpa sinyal, membuat saya benar-benar merasa tenang dan damai, bersama orang-orang baru di perjalanan ini yang begitu berkesan.

Harmonisnya kehidupan penduduk dan alam adalah hal yang penting dan menjadi pelajaran bagi kita, di desa Simancung kita bisa belajar bagaimana bersinergi, mengelola, menjaga dan memanfaatkan sumber daya alam hutan dengan bijak dan berkelanjutan.

Terima kasih para penjaga hutan dan masyarakat yang sudah andil dalam menjaga hutan sekitarnya, cerita #jagahutan harus tetap digaungkan bukan? Dengan cara kita masing-masing, cara apapun dan dimanapun. 


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *