Galeri Cerita: Api Unggun Mendekatkan Kami dengan Rimba
Oleh : Listyana Masruroh
Pada malam kedua rombongan kami memutuskan untuk bermalam di tengah hutan. Keputusan yang awalnya menuai ragu. Karena tujuan kami ke dalam hutan adalah mengambil dokumentasi untuk program kampanye sosial. Bermalam di hutan akan menghabiskan tenaga, juga tidak ada gambar yang bagus untuk didokumentasikan ketika malam. Begitulah pikir kami saat itu.
Alasan yang utama adalah, saya takut akan tenaga teman-teman dokumentasi saya yang notabene tak pernah bermalam di hutan. Saya takut mereka merasa tak nyaman, kemudian tenaganya habis dan keesokan harinya tidak bisa melakukan dokumentasi dengan maksimal. Tentunya ketakutan tersebut hanyalah saya rasakan dan ciptakan sendiri. Kenyataannya jauh berbeda. Tentulah saya akan sangat menyesal jika malam itu bermalam di rumah penduduk dan tidak di dalam hutan.
Mari saya ceritakan dari awal.
Saya bersama tiga orang teman berangkat dari Surabaya. Setelah bertemu dengan kawan dari komunitas yang bergerak di bidang lingkungan, kami melakukan perijinan ke kantor Taman Nasional Meru Betiri. Tujuan kami adalah desa penyangga hutan bernama Blok Aren.
Sepanjang perjalanan kami disuguhkan rangkaian bukit-bukit dan persawahan. Ini masih permulaan, bukanlah kejutan yang disiapkan untuk kami. Pikir saya saat itu. sesampainya di desa yang masih sangat asri dan jauh dari keramaian, kami dibuat takjub oleh suasananya serta keramahan masyarakatnya.
Kami disambut oleh tokoh masyarakat serta disediakan tempat bernaung. Sembari kawan-kawan memasak, saya mendokumentasikan keasrian desa. Anak-anak kecil takjub melihat robot yang dapat terbang dan suaranya menyerupai tawon. Mungkin sehari-hari yang mereka lihat adalah tawon hutan asli. Mereka berlarian mengikuti laju drone kami.
Kami lantas melihat cara kerja masyarakat dalam mengolah hasil hutan. Melihat ibu-ibu membuat minyak kemiri, bahkan memecahkan kemiri dengan alat sederhananya. Bahkan, kami pun berkesempatan menyicipi legen dari aren yang mereka sebut dengan “tuwak”
Malamnya, kami berbincang panjang dengan inang kami yang merupakan mitra polisi hutan. Cerita panjang mengenai sejarah kelam desa tempat kita bermalam ini. Ada banyak hal yang membuat saya tersentuh oleh cara masyarakat memaknai hidup. Mencintai alam sebagai sumber kehidupan.
Ada masa ketika Pak Lif, nama inang kami tersebut ladangnya dirusak oleh oknum tak bertanggung jawab. Beliau tak marah bahkan mendendam. Keyakinannya bahwa orang yang merusak tanaman beliau itu sejatinya bermusuhan dengan Allah bukan dengan Pak Lif. Sebab tanaman dan alam ini milik Allah.
Pak Pri, yang merupakan tokoh masyarakat adat mengunjungi kami dan membagikan ceritanya. Tentang kesehariannya yang menderes nira hingga hal-hal diluar nalar yang seringkali terjadi di hutan. Cerita beliau sungguh menambah perspektif baru bagi kami.
Keesokannya, kami diantarkan oleh warga untuk masuk ke dalam hutan. Awalnya melewati ladang warga. Mereka mempersilahkan kami untuk mengambil tomat atau apapun yang bisa dimakan selama kami lewat. Kami kemudian memasuki vegetasi hutan yang rapat.
Warga yang mengantar kami membantu melewati medan yang sulit seperti sungai atau jembatan. Kami yang notabene orang asing diperlakukan dengan sangat istimewa. Mereka juga menceritakan segala hal mengenai hutan ini. Banyak sungai, mata air, bahkan air terjun yang kami lewati. Sesekali kami berhenti untuk merasakan jernihnya air Meru Betiri mengalir di tenggorokan kami.
Sesampainya di Danau Sakjan, kami melepas lelah sambil menekuri keindahannya. Masyarakat telah mengelola wisata alam ini dengan baik dan terjaga kebersihannya. Tak ada barang tak ramah lingkungan seperti plastik disini. Kami menaiki rakit dan bermain-main di airnya yang tenang. Ada air terjun buatan masyarakat kelompok konservasi yang dialirkan dari sungai ke tebing batu besar dan jatuh langsung ke danau.
Puas bermain rakit dan energi sudah kembali, kami lantas mengunjungi Air Terjun Sarang Tawon. Dinamakan demikian karena merupakan lokasi masyrakat mengambil madu lebah hutan. Kami berenang di airnya yang jernih. Saya bahkan menaiki tingkatan atas air terjunnya yang memiliki 4 tingkatan ini.
Petang akan datang, kami memutuskan kembali ke tempat camp. Di perjalanan kami menemukan banyak sekali jamur konsumsi. Mengambilnya untuk bekal makan malam nanti. Kami mempersiapkan api untuk menghangatkan diri serta memasak.
Urusan memasak kami serahkan ke kawan yang menguasai keahlian survival living. Saya dan teman-teman dari Surabaya banyak mendapat ilmu baru perihal teknik survival. Beres memasak, kami makan malam. Tak ingin menyiakan waktu, kami duduk melingkar untuk bertukar cerita.
Masing-masing dari kami bercerita tentang kehidupan pribadi. Banyak hal-hal yang belum sempat diceritakan akhirnya terkuak. Kami pun saling bertukar gagasan mengenai dunia kerelawanan serta lingkungan. Hal itu membuat saya dan teman dari Surabaya merasa sangat kecil dibandingkan mereka yang pengalaman kerelawanannya sudah sangat tinggi.
Saya merasa sebagai pemuda tidak pernah berbuat apa-apa untuk alam. Hal yang saya lakukan selalu tak jauh dari kegiatan alam yang bersifat senang-senang dan sekedar eksplorasi saja. Malam berjalan sangatlah seru. Hingga pagi tiba, kami dibuat terpana oleh pesona matahari yang menerobos sela-sela dedaunan dan menimpa air danau bagaikan cermin raksasa.
Lepas membereskan sisa bermalam hingga bersih seperti sedia kala, kami melakukan penanaman dan adopsi pohon bersama relawan lain dan pengelola TNMB. Senang rasanya bisa investasi kepada alam untuk masa mendatang.
Selepas berkegiatan, saya melihat kebahagiaan lain yang terpancar di wajah teman-teman saya. Mereka ketagihan melakukan eksplorasi hutan kembali. Malam di hutan itu telah merubah perspektif mereka. Rasa ingin tahunya menjadi semakin besar.
Pulang dari hutan kembali ke rutinitas masing-masing. Kami menggarap program kampanye hutan tersebut sambil terngiang-ngiang untuk merencanakan kembali datang kesana lagi.
Banyak hal yang bisa dilakukan oleh pemuda untuk hutan. Tak selalu harus bersentuhan langsung. Kita bisa memaksimalkan kemampuan apapun yang dipunya untuk kelestarian alam. Pemuda yang memiliki akses ke hutan biarlah melakukan upaya yang bersentuhan langsung. Kita yang tak punya akses bisa mendukung upayanya dari kediaman masing-masing. Pemuda yang memiliki kemampuan menciptakan narasi baik melalui tulisan, gambar, atau karya bisa menyuarakan untuk menjaga serta menyebarkan kampanye untuk menjaga kelestarian hutan. Tak ada alasan terbatas akses atau kesulitan bergerak. Setiap individu berdaya dan memiliki kekuatan.
0 Komentar